Friday 28 August 2015

Kebudayaan Majalengka

1. Sampyong


Sampyong adalah permainan rakyat majalengka pada tahun 1960-an di daerah Cibodas. Akan tetapi dahulu
permainan ini dikenal dengan nama Ujungan. Ujungan termasuk permainan ketangkasan dan kekuatan memukul dan dipukul.

Permainan ini terdiri dari 2 orang dan dipimpin wasit yang disebut Maladang. Pemain harus menggunakan teregos atau balaktual. Tapi karena permainan ini terlalu bebas, jadi dibuat beberapa peraturan. Nah, dari situ nama ujungan ditinggalkan, dan sekarang lebih popular dengan nama Sampyong yang artinya Sam berarti tiga dan pyong adalah pukulan. Sebagai penghormatan seni sampyong Mekar Pedesaan dari Simpeurem pernah mewakili Jawa Barat pada event pertunjukan seni di Bali.

2. Gaok



Gaok merupakan kesenian jenis mamaos (membaca teks) atau disebut juga wawacan,  dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat ‘ngayun’ (acara seminggu kelahiran bayi). Kata gaok berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak, karena gaok dibawakan dengan cara dinyanyikan dengan suara yang keras atau dengan nada tinggi.

Gaok dibawakan dengan cara memaparkan cerita babad tanpa iringan musik. Jika sekarang terdapat penambahan alat musik, itu hanya digunakan sebagai pembuka saja, tidak digunakan untuk mengiringi mamaos / gaok secara keseluruhan. Sering alat musik digunakan hanya sebagai jeda saja.

Berkembang di Majaléngka sejak masa peme-rintahan Pangéran Muhammad, yaitu pada abad ke-15. Diprediksi bahwa gaok merupakan media dakwah Islam sebelum masyarakat mengenal budaya baca. Kesenian ini mengalami sinkritisme antara nilai-nilai budaya etnis Sunda dengan budaya Islam yang datang dari Cirebon. Artinya ada pencampuran antara nilai budaya Sunda dengan nilai budaya Islam. Misalnya, pertunjukan dimulai dengan ucapan basmallah, namun bahasa yang digunakan kemudian adalah bahasa Sunda.

Tokoh yang berperan mengembangkan kesenian gaok antaranya adalah Sabda Wangsaharja sekitar tahun 1920-an. Beliau berdomisili di Kulur, Majaléngka.

3. Kuda Renggong



Kuda Renggong berkembang di Kabupaten Majalengka dari tahun 1950-an. Yang pada awalnya pertnjukan seni ini disiapkan untuk melayani pesta sunat. Sedangkan saat ini kesenian kuda Renggong bukan untuk pesta sunat saja, akan tetapi juga dupersiapkan untuk acara lain, seperti upacara hari besar, festival, dan menyambut tamu.

Dalam pertunjukan ini, sang kuda akan menari sambil berjalan dan ditambah dengan kemampuan atraksi pencak silat. Namun atraksi pencak silat dilakukan setelah kuda renggong melakukan arak-arakan keliling kampung sambil di tunggangi anak sunat. Pada saat arak-arakan pengantin sunat, masyarakat sekitar yang suka berjoget turut memeriahkan suasana berjoget didepan kuda dengan maksud menghibur pengantin sunat. Pengantin sunat yang manunggangi kuda pun didandani dengan pakaian gatotkaca sehingga tampak gagah.
Kesenian kuda renggong berkembang pesat dan tersebar hampir di semua Kecamatan di Majalengka. Menurut Arthur Nalan, makna simbolis kuda renggong adalah makna spiritual, makna interaksi makhluk Tuhan, teatrikal dan makna unversal.

Hingga saat ini tercatat ada 50 group kesenian kuda renggong di Majalengka



Sumber : http://www.majalengkakab.go.id/

0 comments:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Post a Comment